Niat Baik Kafe Jamban - Semarang |
Budi Laksono membuat Kafe unik bernama Kafe Jamban yang menjadi viral di media sosial. Pria bertitel doktor dan dokter tersebut ternyata punya alasan mulia dibalik dibukanya cafe yang menyajikan kuliner dengan jamban jongkok di meja makan itu.
Alumni Universitas Diponegoro Semarang dan Queensland University of Technology Australia itu sejak 15 tahun lalu sudah menaruh perhatian tentang kondisi sanitasi di Indonesia. Aksinya ini diawali dengan tesis berjudul "Katajaga (kampung total jamban keluarga) Balatrine" lalu dilanjutkan memberikan bantuan berupa jamban bagi warga yang belum memiliki. "Pertama itu tahun 2005 di Semarang daerah Bendosari, Ngelosari sampai dapat 13 desa kecil. Terus sampai akhirnya kami dapat bantuan untuk membuat jamban," kata Budi di Kafe Jamban, Jalan Untung Suropati no. 445, Semarang, Kamis (30/6/2016).
Dibantu istrinya, Dra. Sri Peni Hernawati (49), kepedulian Budi dengan sanitasi terus berlanjut. Banyak relawan dari berbagai negara yang ikut serta. Pada tahun 2008 dan 2011, ia memperoleh rekor MURI karena berhasil membuat ribuan jamban untuk warga yang belum memilikinya. Usahanya itu juga diapresiasi oleh Kodam IV Diponegoro dan diajak kerjasama untuk program jambanisasi. Pemerintah Kota Semarang juga turut membantu pendanaan jambanisasi tersebut. Hingga saat ini ada sekitar 173 ribu jamban yang dibuatnya bersama yayasan Wahana Bakti Sejahtera Semarang miliknya di berbagai daerah. "Membuat jamban itu murah kok, materialnya tidak sampai Rp 500 ribu," ujar pensiunan PNS Dinas Kesehatan Provinsi Jateng itu.
Di tengah kerja kerasnya memperjuangkan pengadaan jamban, Budi membuka Kafe Jamban sekitar 2 bulan lalu di ruko miliknya. Kafe tersebut sebenarnya merupakan tempat diskusi soal sanitasi yang diwarnai "atraksi" makan dari jamban jongkok dan duduk di kursi dari jamban duduk. "Kafe seperti ini bukan yang pertama, di Jepang, Korea, Singapura juga ada. Saya pernah berkunjung yang di Korea," ujarnya.
Ada persyaratan tertentu untuk bisa makan di Kafe Jamban. Pengunjung juga akan mendengarkan persentasi soal jamban oleh Budi. Dalam diskusi tersebut, Budi memberikan pengertian akan pentingnya jamban. "Kita beri motivasi, ada 10 pemahaman. Kalau kita pahamkan maka akan tergerak punya jamban. Ilmu nomor 8 itu kalau punya jamban berarti mengikuti Sunnah Rasul, kalau tidak berarti menzolimi orang lain karena menyebabkan penyakit akibat bakteri feses," tandas Budi. "Saya Muslim, dan dalam konteks sanitasi, ada sunnahnya. Pertama hindari buang air di air mengalir karena menyebarkan kuman dan bakteri, kemudian jangan di pinggir jalan karena terkait dengan aurat, ketiga jangan di bawah pohon karena mengganggu orang, dulu orang banyak beristirahat di bawah pohon," imbuhnya.
Usaha sosialisasi lewat diskusi di Kafe Jamban ternyata menuai kontroversi di media sosial. Banyak komentar miring hingga menghujat. Namun Budi tidak mempermasalahkannya dan menanggapi santai. "Ya memang dibahas sisi buruknya, tapi justru kita bisa masuk angle menjelaskan sisi baiknya. Banyak yang menghujat, tapi biasanya paling keras itu yang, maaf, edukasinya paling rendah. Biasanya over responsif, terlalu fanatik dalam pendapat. Mahasiswa lingkungan yang datang ke sini pun tidak masalah," terang ayah 4 anak itu.
Alumni Universitas Diponegoro Semarang dan Queensland University of Technology Australia itu sejak 15 tahun lalu sudah menaruh perhatian tentang kondisi sanitasi di Indonesia. Aksinya ini diawali dengan tesis berjudul "Katajaga (kampung total jamban keluarga) Balatrine" lalu dilanjutkan memberikan bantuan berupa jamban bagi warga yang belum memiliki. "Pertama itu tahun 2005 di Semarang daerah Bendosari, Ngelosari sampai dapat 13 desa kecil. Terus sampai akhirnya kami dapat bantuan untuk membuat jamban," kata Budi di Kafe Jamban, Jalan Untung Suropati no. 445, Semarang, Kamis (30/6/2016).
Dibantu istrinya, Dra. Sri Peni Hernawati (49), kepedulian Budi dengan sanitasi terus berlanjut. Banyak relawan dari berbagai negara yang ikut serta. Pada tahun 2008 dan 2011, ia memperoleh rekor MURI karena berhasil membuat ribuan jamban untuk warga yang belum memilikinya. Usahanya itu juga diapresiasi oleh Kodam IV Diponegoro dan diajak kerjasama untuk program jambanisasi. Pemerintah Kota Semarang juga turut membantu pendanaan jambanisasi tersebut. Hingga saat ini ada sekitar 173 ribu jamban yang dibuatnya bersama yayasan Wahana Bakti Sejahtera Semarang miliknya di berbagai daerah. "Membuat jamban itu murah kok, materialnya tidak sampai Rp 500 ribu," ujar pensiunan PNS Dinas Kesehatan Provinsi Jateng itu.
Di tengah kerja kerasnya memperjuangkan pengadaan jamban, Budi membuka Kafe Jamban sekitar 2 bulan lalu di ruko miliknya. Kafe tersebut sebenarnya merupakan tempat diskusi soal sanitasi yang diwarnai "atraksi" makan dari jamban jongkok dan duduk di kursi dari jamban duduk. "Kafe seperti ini bukan yang pertama, di Jepang, Korea, Singapura juga ada. Saya pernah berkunjung yang di Korea," ujarnya.
Ada persyaratan tertentu untuk bisa makan di Kafe Jamban. Pengunjung juga akan mendengarkan persentasi soal jamban oleh Budi. Dalam diskusi tersebut, Budi memberikan pengertian akan pentingnya jamban. "Kita beri motivasi, ada 10 pemahaman. Kalau kita pahamkan maka akan tergerak punya jamban. Ilmu nomor 8 itu kalau punya jamban berarti mengikuti Sunnah Rasul, kalau tidak berarti menzolimi orang lain karena menyebabkan penyakit akibat bakteri feses," tandas Budi. "Saya Muslim, dan dalam konteks sanitasi, ada sunnahnya. Pertama hindari buang air di air mengalir karena menyebarkan kuman dan bakteri, kemudian jangan di pinggir jalan karena terkait dengan aurat, ketiga jangan di bawah pohon karena mengganggu orang, dulu orang banyak beristirahat di bawah pohon," imbuhnya.
Usaha sosialisasi lewat diskusi di Kafe Jamban ternyata menuai kontroversi di media sosial. Banyak komentar miring hingga menghujat. Namun Budi tidak mempermasalahkannya dan menanggapi santai. "Ya memang dibahas sisi buruknya, tapi justru kita bisa masuk angle menjelaskan sisi baiknya. Banyak yang menghujat, tapi biasanya paling keras itu yang, maaf, edukasinya paling rendah. Biasanya over responsif, terlalu fanatik dalam pendapat. Mahasiswa lingkungan yang datang ke sini pun tidak masalah," terang ayah 4 anak itu.
Sumber : News.detik
0 Response to "Niat Baik Kafe Jamban."
Posting Komentar